Diawali dengan " Bismillahirrohmanirrahim.."

The Science without Religion is blind,
The Religion without science is lame"

muhammadfahriapriyanto.blogspot.com
“Lima hal ini (waktu muda, masa sehat, masa luang, masa kaya dan waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.”
(At Taisir Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356)

YUK.. BROWSING SAMBIL BELAJAR...

Selasa, 25 Agustus 2015

Umat Islam Harus Tolong Menolong dan Kerja Sama

tangan
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”  (QS. Al-Maaidah: 2)

SALAH satu pilar kesuksesan dalam segala urusan termasuk dalam kehidupa keluarga adalah tolong menolong. Kesuksesan pengusaha adalah hasil kerjasama antar pihak terkait, baik dari jajaran direksi, marketing, bagian produksi, teknisi dan lain-lain. Termasuk bagian yang tak kalah penting namun terkadang sering dianggap remeh yaitu bagian Security dan Office Boy.
Begitu juga kesuksesan dalam rumah tangga hanya akan terjadi jika kerja sama antara Istri dan Suami terjalin dengan baik.

Hanya orang yang picik, egois dan sombong yang menganggap keberhasilan dirinya adalah hasil tangannya sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. Salah satu contoh yang terekam dalam Al-Qur’an adalah Karun, yang mengklaim bahwa kekayaannya diperoleh semata-mata karena ilmunya (QS. Al-Qashash :78). Akibatnya kebinasaan dan azab Allah ditimpakan kepadanya.

Tolong menolong adalah Sunnah Kauniyah dan Faridhah Syar’iyah (sunnatullah terkait dengan alam semesta). Allah menciptakan beragam makhluknya dan juga berbeda-beda. Kerjasama yang terjalin antar makhluk itulah kehidupan dapat terjalin secara sinergi dan serasi. Kerjasama antara pasir, semen, batu, besi dan unsur bangunan lainnya, maka tercipta bangunan yang kokoh dan megah. Karenanya jika tidak mengakui peran pihak lain dalam menghantarkan kita ke puncak sukses artinya kita bertentangan dengan sunnatullah di muka bumi ini.

Jika fenomena keberagaman ciptaan Allah SWT sebagai bagian dari sunnah kauniyah tentang keharusan kerja sama, maka ayat diatas mempertegas bahwa tolong menolong dan kerja sama merupakan “Faridhah Syar’iyah” (kewajiban Syariat) dan Amrun Ilahi (Perintah Allah).

Tidak semua tolong menolong atau kerja sama diperintah oleh Islam. Melainkan hanya tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Ibnu Katsir mengatakan bahwa firman Allah tersebut memerintahkan kepada manusia agar tolong menolong dalam kebaikan. Dan itulah yang disebut “Birr”. Dan tolong menolonglah untuk saling meninggalkan berbagai kemunkaran, yang tersebut dinamakan ‘Takwa’.

Kebaikan disini bukan dinilai dengan hawa nafsu dan menurut selera banyak orang. Tapi meliputi semua kebaikan yang diperintahkan oleh syariat. Sementara dosa dan maksiat adalah semua yang dilarang oleh syariat, atau sesuatu yang mengganjal dan tidak senang jika terlihat atau diketahui oleh orang lain.

Karena itulah seorang mukmin wajib menolong sesama, baik ia suka maupun suka selama masih dalam koridor Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Tolonglah saudaramu baik dalam keadaan zhalim atau dalam keadaan mazhlum (dizhalimi)” kemudian Rasulullah ditanya, “Ya Rasulullah, aku menolong yang dizhalimi itu hal yang biasa. Tapi bagaimana caranya menolong saudaraku yang dalam keadaan zhalim?” Beliau menjawab, “Engkau melarang dan mencegahnya agar tidak berbuat zhalim, maka inilah cara menolongnya,” (HR. Bukhari). [fha/islampos/ummi/aksuhail]

https://www.islampos.com/umat-islam-harus-tolong-menolong-dan-kerja-sama-130609/


 

Minggu, 23 Agustus 2015

Buku Putih Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab (1)



بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.

Dari dulu hingga sekarang, perdebatan serta perbincangan seputar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah dan jalan dakwahnya, terus berkecamuk antara mereka yang pro dan yang kontra.

Dan yang mengherankan dari dakwaan mereka yang kontra -yang melontarkan tuduhan-tuduhan kepada Syaikh- adalah: omongan mereka yang kosong dari dalil berupa bukti dari perkataan Syaikh atau tulisan beliau di dalam kitab-kitabnya, yang ada hanyalah tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang terdahulu, lalu ‘difotokopi’ oleh para pewaris mereka.

Kami kira setiap orang yang obyektif sepakat bahwa jalan yang paling tepat untuk mengenal hakikat pemikiran seseorang adalah dengan cara kembali langsung kepada orang tersebut atau kepada referensi-referensi yang otentik.

Alhamdulillah tulisan-tulisan serta ucapan-ucapan Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab -ed) sampai saat ini masih ada dan mudah untuk didapatkan. Dengan menelaah tulisan-tulisan tersebut, benar tidaknya isu-isu yang sementara ini tersebar di masyarakat akan terlihat. Adapun tuduhan-tuduhan yang tanpa bukti, maka ini bagaikan fatamorgana yang tidak ada hakikatnya.

Di tulisan ini, kami akan memaparkan ucapan-ucapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang kami nukil dengan penuh amanah dari referensi-referensi otentik yang menghimpun perkataan-perkataan beliau. Peran kami dalam buku ini hanyalah sebagai penyusun.

Buku ini memuat jawaban-jawaban Syaikh sendiri, atas tuduhan-tuduhan utama yang dilontarkan ‘para lawan’ dakwah beliau. Kami amat yakin insya Allah dengan taufik dari Allah, tulisan ini akan cukup untuk menjelaskan al-Haq bagi mereka yang memang menginginkannya.

Adapun mereka yang memusuhi dan menentang perjuangannya, yang tidak henti-hentinya menebarkan tuduhan-tuduhan dusta, maka kami katakan kepada mereka: ‘Sadarlah, karena sesungguhnya kebenaran telah jelas, agama Allah ta’ala akan menang dan cahaya matahari yang bersinar terang tidak bisa dihalangi dengan kedua telapak tangan.’

Perkataan-perkataan beliau dalam buku ini meluluhlantakkan tuduhan-tuduhan mereka. Jika mereka memiliki bukti dari perkataan beliau yang menguatkan tuduhan tersebut maka keluarkanlah dan jangan disembunyikan. Jika mereka tidak bisa mendatangkannya, maka kami menasihatkan, “Telusurilah jalan Allah ta’ala dengan hati yang bersih dari hawa nafsu dan kefanatikan terhadap suatu golongan. Mohonlah kepada-Nya agar Dia menunjukkan kebenaran lalu ikutilah kebenaran itu. perhatikanlah perkataan-perkataan beliau, kemudian renungkanlah; apakah beliau datang membawa ajaran baru yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah?

Kemudian renungkan kembali: Adakah jalan keselamatan selain dengan mengucapkan kebenaran serta membenarkannya?

Jika telah datang kebenaran kepadamu maka terimalah dan ikutilah kebenaran tersebut; karena yang demikian lebih baik dari pada bersikeras dalam kebatilan.
Hanya kepada Allah-lah semuanya akan kembali…

Hakikat Dakwah Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab
Alangkah baiknya kami paparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang hakikat dakwah yang beliau serukan. Karena hingga saat ini ‘para musuh’ dakwah beliau masih terus membangun dinding tebal di hadapan orang-orang awam, sehingga mereka terhalang untuk melihat hakikat dakwah sebenarnya yang diusung oleh beliau.

Syaikh berkata,
“Segala puji dan karunia dari Allah, serta kekuatan hanyalah bersumber dari-Nya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan hidayah kepadaku untuk menempuh jalan lurus, yaitu agama yang benar; agama Nabi Ibrahim yang lurus, dan Nabi Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Alhamdulillah aku bukanlah orang yang mengajak kepada ajaran sufi, ajaran imam tertentu yang aku agungkan atau ajaran orang filsafat.

Akan tetapi aku mengajak kepada Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kepada sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diwasiatkan kepada seluruh umatnya. Aku berharap untuk tidak menolak kebenaran jika datang kepadaku. Bahkan aku jadikan Allah, para malaikat-Nya serta seluruh makhluk-Nya sebagai saksi bahwa jika datang kepada kami kebenaran darimu maka aku akan menerimanya dengan lapang dada. Lalu akan kubuang jauh-jauh semua yang menyelisihinya walaupun itu perkataan Imamku, kecuali perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau tidak pernah menyampaikan selain kebenaran.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/37-38).

“Alhamdulillah, aku termasuk orang yang senantiasa berusaha mengikuti dalil, bukan orang yang mengada-adakan hal yang baru dalam agama.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: V/36).
“Dan yang aku dakwahkan sebenarnya adalah: Kita tidak boleh menyembah kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman-Nya,

فَلا تَدْعُو مَعَ اللَّهِ أَحَداً
“Maka kamu janganlah menyembah seorang pun di samping menyembah Allah.” (QS. Al-Jin: 18)
Allah ta’ala juga memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قُلْ إِنِّي لا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرّاً وَلا رَشَداً
“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak ( pula)kuasa memberikan suatu kemanfaatan.” (QS. Al-Jin: 21)

Inilah firman Allah ta’ala yang telah disampaikan dan diwasiatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita… Inilah yang akan menjadi hakim antara kalian dan diriku. Jika kalian mendengar tentang dakwahku selain yang kukatakan tadi, maka ketahuilah bahwa hal itu adalah dusta.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/90-91).

Poin Pertama: Keyakinan Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab Tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di antara tuduhan besar yang dilontarkan ‘musuh-musuh’ dakwah Syaikh kepada beliau dalam masalah ini adalah:

1. Beliau dituduh tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup Para Nabi dan Rasul.

Demikianlah tuduhan yang tersebar, padahal semua kitab karangan beliau telah membuktikan dustanya tuduhan ini. Di antara perkataan beliau yang membantah tuduhan tersebut:
“Aku beriman bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup Para Nabi dan Rasul. Keimanan seseorang tidak dianggap sah hingga dia beriman dengan kenabian dan kerasulannya.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/32).
“Orang yang paling bahagia, paling besar kenikmatannya dan paling tinggi derajatnya adalah orang yang paling setia mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengamalkan ajaran beliau.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/21).

2. Beliau dituduh tidak memenuhi hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tidak memosisikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana mestinya.

Untuk menjelaskan hakikat tuduhan ini, kami akan kutip perkataan Syaikh yang menjelaskan keyakinan beliau tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau berkata, “Ketika Allah ta’ala berkehendak untuk menampakkan Tauhid dan menyempurnakan agama-Nya di atas muka bumi, serta meninggikan kalimat Allah dan merendahkan kalimat orang-orang kafir; maka Allah ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para rasul dan kekasih Rabb alam semesta. Beliau senantiasa dikenal setiap masa, bahkan disebutkan pula dalam kitab Taurat Nabi Musa ‘alaihis salam dan kitab Injil Nabi Isa ‘alaihis salam. Hingga Allah ta’ala memunculkan mutiara tersebut di antara kabilah Bani Kinanah dan Bani Zahrah. Allah mengutus beliau di masa-masa terputusnya (pengiriman) rasul-rasul, lalu menunjukinya jalan yang lurus.

Sebelum beliau diutus menjadi Rasul, telah tampak pada dirinya tanda-tanda kenabian yang tidak bisa ditiru oleh siapapun yang hidup di zamannya. Allah ta’ala menumbuhkan beliau dengan sebaik-baiknya hingga menjadi orang yang paling mulia akhlaknya, paling tinggi budi pekertinya, paling tangguh kesabarannya, paling baik dengan para tetangganya, serta paling jujur tutur katanya, sehingga kaumnya menjulukinya sebagai al-amin (yang dipercaya); karena di dalam pribadinya terdapat perilaku yang baik dan sifat-sifat yang terpuji.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/90-91).

“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pemimpin para pemberi syafaat, dan pemberi syafaat agung (di padang mahsyar), Nabi Adam ‘alaihis salam dan keturunannya kelak berada di bawah benderanya.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/86).

“Rasul pertama adalah Nabi Nuh ‘alaihis salam, dan rasul yang terakhir dan yang paling utama adalah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/143).

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan risalah kepada umatnya dengan sempurna dan menjelaskannya dengan sebaik-baiknya. Beliau adalah penasihat terbaik bagi para hamba Allah, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, berjihad dengan sebenar-benarnya di jalan Allah ta’ala, serta beribadah kepada Allah ta’ala hingga ajalnya tiba.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/21).

Syaikh menjelaskan bahwa sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Salah seorang dari kalian tidak dianggap beriman hingga aku lebih dia cintai daripada orang tua dan anak-anaknya serta seluruh manusia”, menunjukkan akan wajibnya mengedepankan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kecintaan kepada diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. (Kitab at-Tauhid: hal. 108).

3. Beliau dituduh mengingkari syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh menjawab tuduhan ini dengan berkata, “Mereka menuduh kami mengingkari syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Subhanallah! ini adalah kedustaan yang besar. Bahkan kami menjadikan Allah ta’ala sebagai saksi, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang diberi izin Allah ta’ala untuk memberikan syafaat dan pemilik syafaat agung (di padang mahsyar). Kami memohon kepada Allah Yang Maha Pemurah agar mengizinkan beliau untuk memberikan syafaatnya kepada kita, dan semoga Allah ta’ala mengumpulkan kita bersamanya kelak.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/63-64).
“Yang mengingkari adanya syafaat adalah ahlul bid’ah dan orang yang sesat. Akan tetapi syafa’at tersebut tidak akan bisa diraih kecuali setelah kita mendapatkan izin serta ridha dari Allah ta’ala. Sebagaimana firman-Nya,

وَلا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى
“Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al-Anbiya’: 28)

Allah ta’ala juga berfirman.
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa seizin dari-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)
(Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/31).

Kemudian beliau menjelaskan sebab timbulnya tuduhan dusta tersebut, “Tatkala kusebutkan kepada mereka apa yang difirmankan Allah ta’ala, apa yang disabdakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta apa yang dijelaskan para ulama dari berbagai mazhab, tentang perintah untuk memurnikan ibadah untuk Allah ta’ala semata serta larangan untuk menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib sebagai tuhan selain Allah ta’ala, mereka pun berkata, “Kamu telah melecehkan para nabi, orang-orang shalih dan para wali.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/50).

Poin Kedua: Tentang Ahlul Bait (Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). 

Di antara tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada Syaikh: mereka mengatakan bahwa beliau membenci ahlul bait serta tidak memenuhi hak-hak mereka sebagaimana mestinya.

Jawabannya: tuduhan tersebut tidak sesuai dengan fakta; karena kenyataannya beliau mengakui kedudukan mereka dan mencintai serta menghormati mereka, bahkan beliau mengingkari orang yang benci terhadap mereka, beliau berkata, “Allah ta’ala telah mewajibkan kepada umat ini untuk memenuhi hak-hak keluarga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengabaikan hak-hak mereka, dengan prasangka bahwa hal itu adalah bagian dari tauhid. Keyakinan seperti itu termasuk dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Yang kami ingkari adalah model pemuliaan ahlul bait dengan cara meyakini bahwa dalam diri mereka terdapat sifat-sifat ketuhanan, juga aku mengingkari orang-orang yang menghormati oknum-oknum yang mendakwakan hal tersebut.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: V/284).

Siapapun yang membaca biografi beliau, niscaya dia akan mengetahui kebenaran apa yang diucapkannya. Cukuplah sebagai bukti akan kebenaran ucapan beliau; tatkala beliau menamai enam dari tujuh orang putra-putranya dengan nama-nama ahlul bait. Mereka adalah: Ali, Abdullah, Husain, Hasan, Ibrahim dan Fatimah. Ini merupakan salah satu bukti yang jelas tentang besarnya kecintaan beliau terhadap ahlul bait.

Poin Ketiga: Tentang Karamah Para Wali 

Sebagian orang menyebarkan isu bahwa beliau mengingkari adanya karamah para wali.
Perkataan beliau di berbagai pembahasan dalam kitab-kitabnya membuktikan dustanya tuduhan ini. Di antara ucapan beliau, “Aku meyakini keberadaan karamah para wali.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/32).
Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin beliau dituduh demikian, padahal beliau adalah orang yang menyifati golongan yang mengingkari karamah para wali dengan sebutan ahlul bid’ah dan golongan sesat?! Beliau berkata, “Dan tiada yang mengingkari karamah para wali melainkan ahlul bid’ah dan golongan yang sesat.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: I/169).

-bersambung insya Allah-
***
Diambil dari Kitab Tashhihul Mafahimil Khoti’ati
Karya: Syaikh DR. Shalih bin Abdul Aziz As-Sindy
( Dosen Aqidah Universitas Islam Madinah )
Diterjemahkan oleh: Nur Kholis Kurdian, Lc.
(Dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafii, Jember, Jawa Timur)

Dikoreksi ulang oleh: Abdullah Zaen, Lc. & Muhammad Yasir, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

Dilema Sakit Hati

Apabila ada tiga cawan, yang satunya kosong belum terisi, yang satunya lagi terisi setengahnya, adapun yang ketiganya telah penuh terisi, kiranya cawan yang mana diantara ketiganya yang masih bisa menerima sesuatu? Jawabannya tentu yang masih kosong dan atau yang masih terisi setengahnya. Adapun yang telah penuh maka tidak mungkin lagi bisa menerima sesuatu. Apabila sebuah cawan kita isi dan terus kita isi, maka akankah cawan itu tetap lapang atau bahkan semakin lapang, atau justru cawan itu akan semakin sempit ruangannya?

Kita sepakat bahwa cawan itu akan semakin sempit saja ruangannya seiring dengan semakin bertambahnya isi yang kita masukkan. Tahukah Antum, bahwa ada cawan yang tidak pernah penuh walau terus diisi? Apabila ada cawan yang meski terus diisi tidak akan semakin sempit ruanganya ialah hati.

Hati yang lembut semakin diisi dengan iman dan dengan ilmu yang bermanfaat justru semakin luas dan semakin lapang menghadapi segala sesuatu. Berarti sebaliknya, apabila hati yang lembut ini semakin ditinggalkan oleh iman dan ilmu yang bermanfaat pasti ia menjadi semakin sesak lagi sempit. Sedangkan sempitnya hati dan sesaknya itulah hakikat sakit hati. Berarti sakit hati akan muncul apabila hati semakin ditinggalkan oleh iman dan ilmu yang bermanfaat. Dan ia akan muncul apabila hati terus dikotori oleh sesuatu yang mengotori iman dan meracuninya.

Sakit hati sebab kebakhilan
Salah satu contoh racun hati dan pengekang hati ialah sifat bakhil. Kebakhilan memicu sakit hati. Sebab kebakhilan ialah sebuah sifat yang menahan pemiliknya untuk berbuat kebaikan, dan mencegah pemiliknya dari menuanikan setiap ketaatan dan kemuliaan. Oleh karena kebakhilan itu sedemikian maka wajar apabila sifat bakhil ini memicu sempitnya hati dan memicu sakit hati. Wajar apabila bakhil ini menyempitkan dada dan menghilangkan kesabaran. Wajar apabila ia mencegah lapangnya dada dan mengecilkan serta mengerdilkan jiwa dan meneyedikitkan kegembiraan. Sebaliknya ia justru memicu timbulnya banyak gundah dan gulana. Memicu timbulnya kedukaan dan kepenatan. Sehingga tak kuasa lagi ia menunaikan hajat kebutuhannya dan tidak lagi bisa membantu mendapatkan sesuatu yang dicari. Sebab balasan itu setimpal dengan amalan.

Sakit hati sebab kejelekan dan dosa
Di antara perkara yang memicu timbulnya sakit hati ialah banyaknya kejelekan dan dosa-dosa. Perhatikanlah firman Alloh ta’ala berikut ini:

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Alloh itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS az-Zumar: 10)

Pada ayat tersebut Alloh subhanahu wata’ala menyebutkan, sebagaimana pada beberapa ayat semisal lainnya, bahwasannya Dia azza wajalla akan membalas orang-orang yang berbuat kebajikan atas kebajikan-Nya subhanahu wata’ala dengan dua balasan sekaligus, yaitu balasan di dunia dan balasan di akhirat. Ini berarti bahwa perbuatan baik itu berhak mendapatkan balasan yang disegerakan, dan perbuatan jelek pun akan mendapatkan balasan yang disegerakan, dan memang seharusnya demikian. Bila saja tidak didapati balasan atas orang-orang yang berbuat kebajikan selain dari lapangnya dada dari setiap apa yang mendesak hati sehingga hati tetap luas dan gembira serta merasakan kelezatannya terus menerus bergumul dengan Robbnya subhanahu wata’ala dan terus menerus di dalam ketaatan kepada-Nya azza wajalla, senantiasa berdzikir, menyebut-nyebut kenikmatan-kenikmatan-Nya atas ruh dan jiwanya, atas kecintaannya kepada-Nya, juga senantiasa menyebut-nyebut dengan dzikir kepada Robbnya, juga kegembiaraannya pada dzikirnya, maka cukuplah ini merupakan seagung-agungnya kegembiaraan. Bahkan ini lebih agung dibandingkan kegembiaraan seseorang yang didekatkan kepada penguasa atas kekuasaannya sekalipun.
Dan sedangkan apa yang kejelekan dibalas dengannya, berupa sempitnya dada, membatunya hati, buyarnya kehendak hati, kegelapannya dan terpecah belahnya, kegundahan dan gulananya, kedukaan serta ketakutan dan kekhawatirannya sebagaimana inilah yang didapati oleh setiap yang masih memiliki perasaan dan kehidupan, bahkan mungkin ia mendapatinya lebih sangat lagi, semuanya merupakan hukuman yang disegerakan, merupakan neraka dunia dan jahannam yang telah tiba. Inilah hakikat pemicu sakit hati.

Sedangkan menghadap kepada Alloh subhanahu wata’ala, kembali kepada-Nya, rela dengan keputusan qodho’ dan qodar-Nya, penuhnya hati dengan kecintaan kepada-Nya, terbiasa berdzikir menyebut-nyebut-Nya, gembira dan senang dengan mengenal-Nya merupakan pahala yang disegerakan dan surga dunia serta kehidupan yang tidak bisa dinisbatkan kepada sesuatu apapun sampi kepada kehidupan para raja sekalipun. Sehingga hati yang demikia tidak akan pernah dihinggapi sakit dan kesempitan.

Sakit hati sebab berpaling dari mengingat Alloh azza wajalla

Di dalam sebuah ayat Alloh azza wajalla berfirman:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thoha: 124)

Tentang penghidupan yang sempit dalam ayat ini ada yang menafsirkan artinya ialah adzab kubur. Sedangkan yang lebih tepat maknanya ialah penghidupan yang sempit di dunia serta di alam barzakh sekaligus.

Sesungguhnya orang yang berpaling dari peringatan yang telah diturunkan oleh-Nya subhanahu wata’ala dia berhak mendapatkan sempitnya dada dan kesulitan dan kepenatan hidup. Dia berhak mendapatkan besarnya rasa takut dan kekhawatiran hidup. Dia juga berhak mendapatkan perasaan rakus yang sangat terhadap dunia dan sangat letih dibuatnya. Bahkan ia akan begitu berduka saat tidak mendapatkan dunia. Seluruh rasa ini ada sebelum ia mendapatkan dunia maupun setelahnya. Sama dan tak berbeda. Dia juga akan mendapati kepedihan dan penderitaan pada setiap perasaannya sesuai dengan besar dan kecilnya, sangat dan lemahnya. Yaitu setiap  kepedihan dan penderitaan yang tak lagi bisa dirasakan oleh hati sebab hati telah terlalu lelap dibuai olehnya dan telah mabuk kepayang dibuatnya. Tidak sesaat pun dia terjaga melainkan pasti ia akan merasakan dan mendapati kepedihan tersebut. Maka iapun segera berusaha menghilangkannya dengan mabuk yang serupa untuk kedua kalinya. Demikianlah ia selama dan seiring waktu-waktu dalam kehidupannya.
Bila demikian keadaannya, adakah kehidupan yang lebih sempit dibandingkan kehidupan yang demikian ini? Duhai adakah hati yang lembut yang masih bisa merasakannya?
Sehingga, hati-hati orang-orang yang suka menyimpang dari syari’at Islam yang mulia, meninggalkan sunah Rosululloh, berpaling dari al-Qur’an, hati orang-oang yang lalai dari Alloh, hati orang-orang ahli maksiat benar-benar berada di dalam jahim sebelum masuk di dalam neraka jahimil akbar, jahim yang lebih besar. Sedangkan hati orang-orang yang baik lagi taat, patuh kepada Alloh dan kepada Rosul-Nya berada di dalam kenikmatan sebelum di dalam kenikmatan yang lebih besar. Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada di dalam neraka (jahim). (QS al-Infithor: 13-14)

Bagaimana Terapinya?

Tidak ada terapi membahagiakan hati dan memeliharanya dari sakitnya selain dengan iman dan ilmu yang bermanfaat. Yang paling utama ialah iman dengan tauhid yang baik dan ilmu yang baik.
Tidak ada kegembiraan bagi hati, kelezatan serta kenikmatannya, kebaikan serta kelapangannya, selain dengan menjadikan Alloh azza wajalla sebagai tuhannya, penciptanya, Dia saja satu-satunya. Dia azza wajalla yang diibadahi dengan peribadahan di atas puncak apa yang diinginkannya. Dan Dia azza wajalla yang paling dicinta dari seluruh apa saja yang selain-Nya. Begitulah cara membahagiakan hati dan melindungi diri dari sakit hati. Yaitu dengan mengikhlaskan hidup dengan berbagai rona-ronanya hanya untuk Alloh azza wajalla. Dan dengan mengikhlaskan kematian juga hanya demi Alloh azza wajalla.

“Katakanlah: “Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan semesta alam.” (QS al-An’am: 162)

Semoga Alloh memelihara kita dari jeleknya hati dan dari sakit hati, dan semoga Dia membimbing hati kita menuju ikhlas kepada-Nya pada kehidupan dan kematian kita. Amin.


*****
Dari kitab Syifaul alil, Ighotsatul Lahfan, Madarijus salikin, al-Wabilus Shoyyib dan lainnya, oleh Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah.

sumber:  
http://alghoyami.wordpress.com/2011/02/06/sakit-hati-mengapa-terjadi/
http://www.novieffendi.com/2011/06/dilema-sakit-hati.html